“Bang,
baru hari kedua saja kita sudah harus bayar 1,5 juta. Bagaimana kalau seminggu?
Kita nggak punya uang lagi nih?” Pesan singkat itu masuk ke telepon genggam
saya menjelang siang ini. Tentu saja itu SMS dari isteri saya yang tengah
menemani Hufha, anak pertama saya yang sedang dirawat di rumah sakit.
Minggu
pagi, usai Subuh, isteri saya mendapati sulung kami itu dalam keadaan demam
tinggi. Yang membuat panik, di sekujur tubuhnya terdapat bercak-bercak merah.
Karuan saja bayangan kami langsung ke penyakit yang sedang ngetop saat ini,
demam berdarah. Tak ambil pusing, dan tak peduli nanti biaya dari mana, kami
langsung melarikan Hufha ke UGD RS Al-Qadr, Tangerang. Setelah diperiksa dokter
dan melalui tes darah, dipastikan bukan DBD, melainkan Tampak. Orang Betawi
menyebutnya Tampek. Saya tidak tahu apa bedanya dengan Campak, karena sebagian
orang pun menyebutnya demikian.
Karena
penyakit tersebut menular, dianjurkan dokter agar dirawat di ruang isolasi.
Saya pun menyetujuinya, meski saya sempat menangkap mata isteri saya yang masih
bingung. Tentu saya tahu apa yang dipikirkannya saat itu, dan perlahan saya
berbisik, “Ini yang terbaik bagi kesembuhan Hufha, jangan pikirkan soal itu
dulu.”
Saya
bukannya tak mengerti apa yang dipikirkan isteri. Sampai anak kami masuk ruang
perawatan pun, lagi-lagi isteri bertanya soal biaya rumah sakit. Maklum, saya
baru saja bekerja setelah pindah dari tempat sebelumnya. Dan di tempat kerja
yang baru ini belum ada jaminan asuransi seperti sebelumnya. Saya rasa itulah
yang membuat isteri saya sedikit keberatan. “Harus dirawat di rumah sakit ya,
dok? Nggak bisa kalau di rumah saja?” kalimat itu sempat terucap kepada dokter
yang memeriksanya.
Saya hanya
patut bersyukur masih memiliki keberanian untuk membawa anak saya ke rumah
sakit. Padahal saya banyak tahu tentang orang-orang di sekitar yang bahkan
untuk berobat ke klinik pun tak berani, bayangan mereka langsung pada setumpuk
uang yang harus mereka bayarkan untuk sebuah nikmat bernama kesehatan.
Sebenarnya, bukan cuma keberanian yang saya punya, melainkan ketenangan dan
yang pasti kepasrahan kepada Allah. Usaha memang harus tetap dilakukan, tapi
terpenting dari usaha itu adalah keikhlasan kita untuk menyerahkan segala
urusan kepada Allah. Biarkan Allah campur tangan terhadap semua masalah kita,
pasti yang terbaiklah yang dilakukan-Nya. Hasilnya? Jangan pernah meragukan
hasil kerja Allah.
Ya,
keberanian, ketenangan dan kepasrahan ini pula yang saya miliki sewaktu Hufha
masuk rumah sakit Desember tahun lalu akibat Typhus. Yang penting sembuh dulu,
soal bayar rumah sakit, dipikirkan selanjutnya. Intinya, kalau pun harus
menggadaikan diri untuk kesembuhan orang-orang tercinta, saya akan lakukan.
Heroik? Bukan, saya menyebutnya cinta. Cinta yang saya yakini akan berbalas
cinta yang sebanding, bahkan lebih.
Pesan
singkat isteri saya masuk lagi siang ini, “Gimana? Sudah ada belum uangnya?”
Saya tahu dia begitu panik, karena langsung berhadapan dengan tagihan itu.
Sedangkan saya, masih sibuk dengan setumpuk pekerjaan yang tak bisa
ditinggalkan. Sambil tersenyum saya kirim balasan pesan singkatnya, “Cukup
abang saja yang pusing soal itu, yang penting temani saja Hufha dengan senyum
ya”.
Lalu SMS
kedua saya pun meluncur menyusul pesan sebelumnya, “Dalam kepasrahan, pasti ada
jalan. Ingat tahun lalu deh”. Alhamdulillah, pesan singkat itu pun terbalas
cepat dengan sebuah ikon ‘smile’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Atas Saran dan Komentar anda