Kamis, 15 Mei 2014

Dalam Kepasrahan Pasti Ada Jalan



“Bang, baru hari kedua saja kita sudah harus bayar 1,5 juta. Bagaimana kalau seminggu? Kita nggak punya uang lagi nih?” Pesan singkat itu masuk ke telepon genggam saya menjelang siang ini. Tentu saja itu SMS dari isteri saya yang tengah menemani Hufha, anak pertama saya yang sedang dirawat di rumah sakit.

Minggu pagi, usai Subuh, isteri saya mendapati sulung kami itu dalam keadaan demam tinggi. Yang membuat panik, di sekujur tubuhnya terdapat bercak-bercak merah. Karuan saja bayangan kami langsung ke penyakit yang sedang ngetop saat ini, demam berdarah. Tak ambil pusing, dan tak peduli nanti biaya dari mana, kami langsung melarikan Hufha ke UGD RS Al-Qadr, Tangerang. Setelah diperiksa dokter dan melalui tes darah, dipastikan bukan DBD, melainkan Tampak. Orang Betawi menyebutnya Tampek. Saya tidak tahu apa bedanya dengan Campak, karena sebagian orang pun menyebutnya demikian.

Karena penyakit tersebut menular, dianjurkan dokter agar dirawat di ruang isolasi. Saya pun menyetujuinya, meski saya sempat menangkap mata isteri saya yang masih bingung. Tentu saya tahu apa yang dipikirkannya saat itu, dan perlahan saya berbisik, “Ini yang terbaik bagi kesembuhan Hufha, jangan pikirkan soal itu dulu.”

Saya bukannya tak mengerti apa yang dipikirkan isteri. Sampai anak kami masuk ruang perawatan pun, lagi-lagi isteri bertanya soal biaya rumah sakit. Maklum, saya baru saja bekerja setelah pindah dari tempat sebelumnya. Dan di tempat kerja yang baru ini belum ada jaminan asuransi seperti sebelumnya. Saya rasa itulah yang membuat isteri saya sedikit keberatan. “Harus dirawat di rumah sakit ya, dok? Nggak bisa kalau di rumah saja?” kalimat itu sempat terucap kepada dokter yang memeriksanya.

Saya hanya patut bersyukur masih memiliki keberanian untuk membawa anak saya ke rumah sakit. Padahal saya banyak tahu tentang orang-orang di sekitar yang bahkan untuk berobat ke klinik pun tak berani, bayangan mereka langsung pada setumpuk uang yang harus mereka bayarkan untuk sebuah nikmat bernama kesehatan. Sebenarnya, bukan cuma keberanian yang saya punya, melainkan ketenangan dan yang pasti kepasrahan kepada Allah. Usaha memang harus tetap dilakukan, tapi terpenting dari usaha itu adalah keikhlasan kita untuk menyerahkan segala urusan kepada Allah. Biarkan Allah campur tangan terhadap semua masalah kita, pasti yang terbaiklah yang dilakukan-Nya. Hasilnya? Jangan pernah meragukan hasil kerja Allah.

Ya, keberanian, ketenangan dan kepasrahan ini pula yang saya miliki sewaktu Hufha masuk rumah sakit Desember tahun lalu akibat Typhus. Yang penting sembuh dulu, soal bayar rumah sakit, dipikirkan selanjutnya. Intinya, kalau pun harus menggadaikan diri untuk kesembuhan orang-orang tercinta, saya akan lakukan. Heroik? Bukan, saya menyebutnya cinta. Cinta yang saya yakini akan berbalas cinta yang sebanding, bahkan lebih.

Pesan singkat isteri saya masuk lagi siang ini, “Gimana? Sudah ada belum uangnya?” Saya tahu dia begitu panik, karena langsung berhadapan dengan tagihan itu. Sedangkan saya, masih sibuk dengan setumpuk pekerjaan yang tak bisa ditinggalkan. Sambil tersenyum saya kirim balasan pesan singkatnya, “Cukup abang saja yang pusing soal itu, yang penting temani saja Hufha dengan senyum ya”.

Lalu SMS kedua saya pun meluncur menyusul pesan sebelumnya, “Dalam kepasrahan, pasti ada jalan. Ingat tahun lalu deh”. Alhamdulillah, pesan singkat itu pun terbalas cepat dengan sebuah ikon ‘smile’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Atas Saran dan Komentar anda

Pernyataan Sikap Perguruan MA Kepuh

Pernyataan Sikap Pengurus Perguruan Mathla’ul Anwar Kepuh Atas Kejahatan Penusukan Terhadap Menteri Polhukam Jenderal (Purn) Dr. H. Wira...